30 Desember 2009

Hijriyah, Tahun Islam yang Mulai Terlupakan

Kalender Hijriyah, kini telah mencapai bilangan 1431 tahun. Ini berarti sudah hampir 15 abad, secara turun temurun, umat Islam di seluruh dunia memperingati peristiwa Hijrah Rasulullah. Hijriyah sendiri adalah kalender yang digunakan oleh umat Islam, termasuk dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah, atau hari-hari penting lainnya. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Kalender Hijriyah juga digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari. Kalender Hijriyah menggunakan sistem kalender lunar (komariyah).
Kalender ini dinamakan Kalender Hijriyah, karena pada tahun pertama kalender ini adalah tahun dimana terjadi peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Sedangkan tahun hijriah mengingatkan kita pada kejadian spektakuler dalam sejarah Islam, Hijrah. Secara harfiah dia berarti berpindah dari satu titik ke titik yang lain, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Secara historis, hijrah adalah berpindahnya Nabi Muhammad SAW beserta para sahabat dari Makkah menuju Madinah, dan beliau berhasil mempersatukan kaum anshar dan muhajirin, yang dari dulunya tak mampu dipersatukan. Tahun baru hijriah mulai diberlakukan pada masa khalifah Umar Bin Khatab. Namun Tahun baru hijriah tidak mengambil nama “Tahun Muhammad” atau “Tahun Umar”, sehingga tidak mengandung unsur pengagungan/pengkultusan terhadap nama seseorang.
Penentuan kapan dimulainya tahun 1 Hijriah dilakukan 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad. Namun demikian, sistem yang mendasari Kalender Hijriah telah ada sejak zaman pra-Islam dan sistem ini direvisi pada tahun ke-9 periode Madinah.
Dalam penentuannya pun dimulai dari sebuah hari/tanggal pada Kalender Hijriyah berbeda dengan pada Kalender Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Hijriah, sebuah hari/tanggal dimulai ketika terbenamnya matahari di tempat tersebut.
Kalender Hijriyah dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar (qomariyah), memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Kalender Hijriah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi.
Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam Kalender Hijriah bergantung pada posisi bulan, bumi dan matahari. Usia bulan yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi, dan pada saat yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion). Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dengan bumi berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). dari sini terlihat bahwa usia bulan tidak tetap melainkan berubah-ubah (29 - 30 hari) sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (bulan, bumi dan matahari)
Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan (visibilitas) Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari, sehingga posisi hilal berada di ufuk barat. Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, maka jumlah hari pada bulan tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana saja yang memiliki 29 hari, dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung pada penampakan hilal.
Tentunya dalam mengenal tahun hijriah kaum muslimin harus lebih paham, serta menjadikannya lebih bermakna karena dengan kalender hijriah kita dapat mengetahui waktu-waktu khusus yang telah disyariatkan seperti ibadah haji dan dua hari besar islam (idul fitri & idul adha). Namun sangat disayangkan, respon kaum muslimin lebih besar kepada tahun masehi daripada tahun hijriah. Tak jarang juga yang bahkan tidak mengenal sama sekali.
Karenanya mari kita berhijrah meninggalkan ketertutupan (eksklusivisme) menuju keterbukaan (inklusivisme). Meninggalkan kesempitan pikiran menuju keluasan pandangan untuk lebih memahami & mendalami Islam yang haqiqi. Jangan juga beranggapan merasa diri kita paling benar, karena kebenaran ada di mana-mana. Wallahu ‘alam bisshawab. Hanya Allah yang tahu. (Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar