1 Januari 2010

BEDA CARA, SATU RASA (Euforia Pergantian Tahun)

BeTe_Des ’09, Pada saat pergantian tahun, kita akan menyaksikan betapa gencarnya berbagai acara dalam rangka menyambut datangnya tahun baru 2010 M. Terlihat bahwa masyarakat bakal bersuka cita menggantungkan harapan-harapan dengan adanya hal kaya gitu. Perayaan tahun baru udah menjadi tradisi. Ini adalah realita di dunia. Perayaan ada di mana-mana dengan berbagai kegiatan.
Pada negara Brazil. Setiap tengah malam tanggal 1 Januari, orang-orangnya berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa Lemanja. Dewa laut yang terkenal dalam legenda negara si Toloy Bocah Sakti Ronaldo.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci buat merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling ngasih kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan.
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, kalo mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Year’s Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya ga’ akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Bagi orang kristen, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tanggal 1 Januari dirayakan sebagai hari tahun baru.
Tepatnya tanggal 1 Januari tahun 45 Sebelum Masehi (SM). Ga’ lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, dia memutuskan buat ngeganti penanggalan tradisional Romawi yang udah diciptakan sejak abad ke-7 SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, ahli astronomi dari Aleksandria, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan ngikutin revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Sementara kalender sekarang yang banyak dicari di akhir tahun adalah Kalender Gregorian atau kalender Masehi. Kalender ini nich yang dinobatkan sebagai standar penghitungan hari internasional. Pada mulanya kalender ini dipakai untuk menentukan jadwal kebaktian gereja-gereja Katolik dan Protestan. Termasuk buat nentuin perayaan Paskah di seluruh dunia.
Bangsa Roma berharap dengan dimulainya tahun yang baru, kesalahan-kesalahan di masa lalu tuch dapat dimaafkan. Sebagai penebus dosa, tahun baru juga ditandai dengan tukar kado. jadi tahun baru masehi awalnya merupakan suatu ritual Bangsa Roma, dan bahkan dianggap sebagai penebus dosa.
Jadi sebenernya ngga’ perlu malu bin segan buat nolak ajakan berhura-hura alias pesta-pora di malam tahun baru. Boleh jadi dianggap sombong, ngga’ toleran atau malah dikira ‘kuper’ (kurang pergaulan) karena ‘beda’. Padahal ga’ ngikut tahun baruan bukan berarti ga’ peduli dengan pergantian tahun lho. Tetapi tetep nyadar kalo pergantian tahun merupakan bagian dari perubahan waktu.
Saking sadarnya, bagaimana dengan nyoba mensikapinya dengan lebih bijak. Bukan dengan euforia bergelimang maksiat, tapi sebagai alat ukur untuk mengevaluasi kemajuan diri kita. Toh ga’ ada salahnya kan kalo budget yang biasa buat perayaan disisihkan buat ngebantu saudara kita yang tengah tertimpa bencana. Tentu kalo gitu bukankan kita termasuk orang yang berperi-kemanusiaan. Ngga’ melulu bersenang-senang sementara orang laen kesusahan.
Tentu hal itu merupakan tanggung jawab moral yang secara ga’ langsung harus kita emban. Dan jangan lupakan budaya bangsa ini (adat timur) yang mengharuskan bergotong-royong disetiap ada kesempatan. Memang di rasa ga’ adil juga kalo orang laen menderita & kita harus ikut-ikutan susah. Tapi bilamana kita sendiri yang terkena musibah dan orang lain ikut peduli, apa yang akan di rasakan?
Terlebih menurut catatan sejarah, dalam beberapa perayaan tahun baru lalu yang diaanggap lebih banyak segi negatifnya daripada positifnya. Misalnya pada perayaan Tahun 2008 lalu, Usai pesta malam pergantian tahun, banyak tanaman hias di taman Monumen Nasional (Monas) mengalami kerusakan. Tanaman hias yang semula tampak rapi menghiasi sisi bagian luar pintu gerbang Monas jadi rusak karena keinjek-injek.
Meski tetep berjalan tertib dan ga’ menimbulkan korban luka, kondisi gelap mengakibatkan sebagian warga tak lagi menghiraukan tanaman hias di bawahnya. Udahan nikmatin gemerlap kembang api, masyarakat yang semula ngumpul di pelataran Monas (Monumen Nasional) ga’ serta merta ngebersihin sampah sisa makanan maupun koran yang mereka gunakan. Hingga jam 02.30 WIB, sampah masih terlihat bertebaran di sepanjang jalan-jalan menuju gerbang keluar dan di atas rumput taman Monas.
Di Kota Bogor sendiri perayaan malam pergantian tahun di warnai kericuhan. Dua kelompok massa terlibat dalam aksi saling ngelempar batu di kawasan Tugu Kujang.
Beruntung ga’ ada korban jiwa dalam tawuran tersebut. Petugas yang berjaga langsung memburu para provokator dan mengamankan mereka di Mapolresta Bogor. Dari tangan mereka, petugas menyita senjata tajam dan gir.
Kalo di kelurahan kita Tegal Gundil, pada malam pergantian tahun baru jalan utama yang biasa kita lewatin sehari-hari dijadikan jalan alternatif. Musabab jalur Pajajaran ditutup karena ribuan warga dari mana-mana udah pada antri dijalanan pengen ngedatangi Tugu Kujang atau pusat keramaian lainnya, walhasil jalan-jalan utama Kota Bogor lumpuh total.
Warga Tegal Gundil sendiri apalagi anak mudanya, sedikit banyak ketarik buat ngabisin bensin atau berjalan-jalan seperti pada kebanyakan orang. Seperti halnya yang dialami Rahmi (18 thn) Warga Pamikul RW 17, dia berserta teman-temannya biasa berjalan-jalan mengelilingi Kebun Raya Bogor saat malam pergantiaan tahun, begitu pula dengan rencananya di tahun ini. Dia mengaku berangkat dari kediamannya sejak pukul 19.30 WIB dan baru pulang sekitar pukul 01.30 WIB
Sedangkan menurut Ucok 21 (th) warga Tegal Gundil RW II mengatakan, lebih asyik pake motor kalo berjalan-jalan di tahun baru mah biar ga’ kejebak macet. Buat tahun baru sekarang juga dia telah berencana menghabiskan tahun barunya bersama teman-temannya dengan berkeliling kota sejak pukul delapan malam dan ngumpul di Air Mancur pada detik-detik pergantian tahun. Sedikit berbeda dengan Apuy (20 th) Warga Wuwung RW IX, katanya “kalo lagi ga’ boke’ biasanya tahun baru tuch kepantai, seneng-seneng bareng anak-anak.”
Tetapi ngga’ sedikit juga yang tertahan dirumah atau melewatinya dengan berkumpul bersama keluarga, teman-teman atau dengan tetangga. Seperti yang dilakukan oleh Usman (22 th) warga Ceger RW V, bersama teman-temannya mereka berkumpul membuat acara sendiri seperti ngaliweut bareng sambil bersenda-gurau dengan diselingi musik dari petikan gitarnya.
Sama halnya yang dilakukan oleh Efendi (19 th) menurutnya memang kalo jalan-jalan keluar bisa nyenangin, tapi ga’ kearah. Lebih bae ngumpul-ngumpul bareng disini, bakar-bakar, makan-makan, ga’ bikin macet masih tetep bisa seneng-seneng koq.
Jadi bagusnya kalo mau ngerayain modelnya kaya gimana? Pantesan aja kalo pada tanggal 16 Desember lalu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidan menyuarakan kekhawatirannya akan pesta-pesta tahun baru yang cenderung terlalu ‚bebas‘ dan bahaya malam tahun baru yang mampu menjadi malam maksiat.
Walaupun Amidan pesimis sama perayaan-perayaan tersebut, Azizah (46 th), Warga Bratasena RW 15 mengatakan bahwa “pemerintah bisa aja memberhentikan pesta-pesta tahun baru yang ‚liar‘ asalkan mereka juga nyediain pilihan lain yang lebih bermanfaat”.
Sementara Hal senada juga disampaikan oleh H. Endang (66 th) Warga Arzimar 3 RW III, menurutnya “sebagai Rakyat dari bangsa yang tengah dilanda berbagai musibah seharusnya pada tahun baru ini dapat berkaca dan merenungkan teguran Tuhan YME tersebut, jangan sampai Yang Kuasa murka sampe-sampe menambah musibah baru. Coba kita bisa, ga’ mensalah artikannya dengan harus berpesta pora”.
Nah kalo gitu silahkan ambil sikap, dengan seperti apa tahun baru itu akan dilewati, yang jelas walau beda cara tapi tetap satu rasa! Gembira. (Red)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar