17 Februari 2010

Memuliakan Nabi Muhammad SAW

Kecintaan atau cinta merupakan konsep yang paling penting dan agung dalam Islam. Sehingga dapat ditegaskan bahwa hal tersebut merupakan azas keimanan seseorang. Mencintai Rasulullah adalah sebuah prinsip dan kewajiban dalam Islam, sebuah keharusan dalam iman & bukan sebuah pilihan samata.
Ketika Allah mewajibkan umat manusia untuk mencintai Nabi Muhammad saw, maka instruksi tersebut jelas bukan sebuah perintah tanpa tujuan. Karena mustahil Allah akan memerintahkan sesuatu yang sia-sia. Tetapi tujuan tersebut juga bukan sesuatu yang kepentingannya akan kembali kepada Allah atau RasulNya, karena Allah SWT Maha kaya tidak memerlukan pada sesuatu dan RasulNya juga tidak memerlukan faedah tertentu. Dengan demikian mencintai Rasulullah adalah sebuah perintah yang manfaatnya semata-mata untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Seorang Muslim harus menyimpan rasa cinta kepada Nabinya, seberapapun kecilnya. Idealnya ia mencintainya lebih dari segala sesuatu yang ia miliki, bahkan dirinya. Dan itulah pada hakikatnya iman yang paling sempurna. Cinta kepada Nabi memiliki implikasi yang sangat luas. Dalam sebuah hadis, Nabi pernah bersabda bahwa keimanan seseorang harus diukur dengan barometer cintanya kepada Nabinya. “Tidak beriman seseorang sehingga aku (Nabi) lebih ia cintai ketimbang dirinya sendiri…”
Ada manfaat yang segera dan ada juga yang jangka panjang. Di antara manfaat yang segera akan kita rasakan adalah terpautnya hati ini pada pribadi Muhammad saw. Di antara manfaat jangka panjang dari rasa cinta kita pada Muhammad saw adalah seperti yang difirmankan oleh Allah SWT: “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah; yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, syuhada dan orang-orang yang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. 4:69); bahwa dia kelak akan bersama para nabi, shiddiqin, syuhada dan orang-orang saleh.
Bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda: “Cinta padaku dan cinta pada Ahli Baitku akan membawa manfaat di tujuh tempat yang sangat mengerikan: di saat wafat, di dalam kubur, ketika dibangkitkan, ketika pembagian buku-buku catatan amal, di saat hisab, di saat penimbangan amal-amal dan di saat penitian shirat al-mustaqim”. Karenanya Hal ini menunjukkan bahwa peran utama dari kecintaan ini adalah menumbuhkan benih-benih spiritualitas dari keimanan kita.
Maka sangat wajar ketika memasuki bulan Rabiul Awwal, umat Islam merayakan hari kelahiran Nabi SAW dengan berbagai cara, baik dengan cara yang sederhana maupun dengan cara yang cukup meriah. Pembacaan shalawat, barzanji dan pengajian-pengajian yang mengisahkan sejarah Nabi SAW menghiasi hari-hari bulan itu.
Sekitar lima abad yang lalu juga muncul pertanyaan-pertanyaan mengenai perayaan tersebut. Dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi (849 H – 911 H) menjawab bahwa perayaan Maulid Nabi SAW boleh dilakukan.
Jadi, sebetulnya hakikat perayaan Maulid Nabi SAW itu merupakan bentuk pengungkapan rasa senang dan syukur atas terutusnya Nabi Muhammad SAW ke dunia ini. Yang diwujudkan dengan cara mengumpulkan orang banyak. Lalu diisi dengan pengajian keimanan dan keislaman, mengkaji sejarah dan akhlaq Nabi SAW untuk diteladani.
Pengungkapan rasa gembira itu memang dianjurkan bagi setiap orang yang mendapatkan anugerah dari Tuhan. Dan menyuruh kita umat Islam untuk bergembira dengan adanya rahmat Allah SWT. Sementara Nabi Muhammad SAW adalah rahmat atau anugerah Tuhan kepada manusia yang diadataranya. Sebagaimana firman Allah SWT: Dan Kami tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. al-Anbiya’,107)
Betapa Rasulullah SAW begitu memuliakan hari kelahirannya. Beliau bersyukur kepada Allah SWT pada hari tersebut atas karunia Tuhan yang telah menyebabkan keberadaannya. Rasa syukur itu beliau ungkapkan dengan bentuk puasa.
Paparan ini menyiratkan bahwa merayakan kelahiran (maulid) Nabi Muhammad SAW termasuk sesuatu yang boleh dilakukan. Apalagi perayaan maulid itu isinya adalah bacaan shalawat, baik Barzanji atau Diba’, sedekah dengan beraneka makanan, pengajian agama dan sebagainya, yang merupakan amalan-amalan yang memang dianjurkan oleh Syari’ at Islam. Diintisarikan dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar